Minggu, 06 Maret 2016

AKU MENCINTAI MU KARNA ALLAH


AKU MENCINTAI MU KARNA ALLAH
Sudahlah! Hari ini aku pengen jalan-jalan. Bukan pengen dengerin penyesalan kamu,” Kata Fatimah dengan senyumnya yang mengembang. Mendengarnya Brandon begitu lega. Akhirnya mereka melanjutkan ekspedisinya untuk mengacak-acak toko buku di seluruh Jogja demi mencari sebuah Novel.
“Bukannya kamu udah pernah pinjam Novel itu di perpustakaan Kampus?” Tanya Brandon.
“Iyo. Tapi waktu peminjamannya kan terbatas. Aku pengen punya buku itu sendiri,”
“Isi novelnya bagus banget yo?”
“Entahlah. Yang pasti saat aku membaca novelnya, aku seperti diantarkan ke dunia masa depanku. Aku pengen suatu saat ada lelaki yang mencintaiku karena Allah sepeti apa yang diceritakan dalam Novel itu,” Jelas Fatimah panjang lebar. “Penulisnya hebat yo, nggak amatiran,” Kata Brandon dengan nada setengah meledek.
Malam pun tiba, jalanan Jogja bertambah sesak, hanya jeritan kendaraan yang terdengar di telinga mereka berdua.
“Fatimah,” gumam Brandon. “Apa?” sahutnya.
“Kalau boleh aku tahu, saat kamu salat tadi, apa yang kamu minta dari Tuhan?”
Fatimah tersenyum lembut, “Aku ingin Tuhan selalu memberikan kebaikan untuk kedua orangtuaku, karena mereka segalanya untukku.” Fatimah menghentikan perkataannya.
“Lalu apa yang kamu minta dari Tuhan, saat di gereja tadi?” Lanjut Fatimah.
“Aku minta agar Tuhan memberikan kesehatan untuk wanita yang aku sayangi, agar aku bisa terus melihat senyum manisnya,”
“Siapa wanita beruntung itu?”
Dengan sedikit ragu Brandon menjawab, “Mungkin wanita yang ada di sampingku saat ini,” Sejurus kemudian Brandon menatap Fatimah, tatapannya itu menggiring Fatimah menuju perasaan canggung. Entah mengapa hati Fatimah seperti diterbangkan oleh Pilot handal yang telah mengontrol perasaannya.
3 hari yang lalu Brandon memberikan Fatimah sebuah Novel yang ia inginkan. Namun Brandon tidak memberikan secara lansung pada Fatimah, Brandon malah menitipkan Novel itu pada Suryani. Dan hari ini Fatimah berusaha mencari Brandon untuk mengucapkan terima kasih, namun Brandon tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
“Suryani,”
“Ono opo Fat?”
“Tahu Brandon nggak?”
“Tadi pagi dia ke sini, tapi dia cuma nitipin ini sama aku,” Kata Suryani sembari mengansurkan secarik kertas pada Fatimah. “Makasih yo Sur,” Kata Fatimah sembari melangkah menuju taman.
“Hai cewek aneh. Saat Kamu membaca suratku ini, mungkin aku sudah pergi dari Jogja. Maaf aku nggak pamitan sama kamu. Aku hanya pergi sebentar. Suatu saat aku akan kembali untukmu. Jika nanti aku kembali, aku harap kamu tidak berubah, kamu harus sama seperti saat pertama kali kita bertemu. Brandon.” Tanpa disadari olehnya sendiri, setetes air mengalir membasahi pipi Fatimah. Perkataan terakhir Brandon saat tiga hari yang lalu kembali terngiang di telinga Fatimah. “Suatu saat kamu akan mendapatkan cinta sejati yang mencintaimu karena Allah,” Hanya kalimat itu menjadi kado terindah yang Brandon berikan.
Tahun demi tahun berlalu. Fatimah yang dulu hanya gadis remaja, kini bertransformasi menjadi gadis dewasa yang sangat cantilk. Jilbab yang membalut wajahnya semakin membuatnya tampak anggun. Karena Fatimah yang telah dewasa, kedua orangtua Fatimah bermaksud untuk menjodohkannya dengan seorang lelaki, namanya Nurdin. Nurdin Pria yang latar belakang keluarganya tidak jauh beda dengan Fatimah. Nurdin sendiri lulusan dari pondok pesantren selama 10 tahun. Tentu saja Ayah dan Ibu Fatimah sangat menginginkan Nurdin untuk menjadi menantunya.
Sementara Fatimah sendiri susah payah menolak perjodohan itu, tapi apa boleh buat, ia tidak bisa menolak kemauan orangtuanya. Dalam benak Fatimah, ia masih ingin menunggu Brandon, walaupun ia menyadari adanya benteng perbedaan yang membatasi mereka berdua. Namun terbesit sedikit keraguan Fatimah kepada Brandon, karena sudah bertahun-tahun Brandon tak kunjung kembali untuk memenuhi janjinya.
Hari pernikahan Fatimah dan Nurdin tiba. Pukul 10 lewat 15 menit, keluarga Nurdin datang dengan membawa puluhan hantaran. Waktu dimana seharusnya Fatimah ke luar untuk menyambut kedatangan Nurdin, namun tidak, Fatimah hanya mengurung diri di dalam kamar dan tak henti-hentinya Fatimah terus meneteskan air mata, hingga riasan wajahnya serupa dengan tinta pulpen yang luntur terkena air. Tangan Fatimah terus menggenggam erat, secarik kertas yang berisi surat terakhir Brandon.
“Aku akan kembali untukmu Fatimah,” Kalimat itu terus berdengung-dengung di telinga Fatimah. Tangisnya semakin tak tertahan, Fatimah hanya bisa membekap mulutnya dengan tangannya sendiri, agar tangisnya tak terdengar oleh orang lain.
“Nduk, ayo keluar, acaranya sudah mau dimulai,” Suara lembut Ibu Fatimah terdengar dari balik pintu. Sementara Fatimah tak menanggapi panggilan Ibunya, ia hanya terdiam, tenggorokannya seperi tercekat oleh sesak yang mendalam. “Nduk, ayo toh, keluarga calon suamimu sudah menunggu,” Suara Ibu Fatimah kembali terdengar. Dengan sisa kekuatan yang dimiliki oleh Fatimah, ia berusaha menghapus air di pipinya, kemudian ia membiarkan kakinya melangkah menghampiri Ibunya. “Kamu baik-baik saja Nduk?” tanya Ibu Fatimah. Sementara Fatimah mengangguk tak bersemangat. Kakinya terus melangkah mengikuti derap kaki Ibunya, menuju ruang tamu tempat diadakannya ijab kabul.
Beberapa pasang mata menatap Fatimah dengan tajam saat Fatimah tiba di ruang tamu.
“Apakah bisa dimulai sekarang?” tanya Pak Penghulu.
“Silahkan Pak,” jawab Ayah Fatimah.
Dengan sangat lantang Pak penghulu memuntahkan serangkaian kalimat ijab, begitu juga Nurdin yang sangat lantang menguapkan kalimat kabul-nya. Belum sampai para saksi mengucapkan kalimat “sah,” mendadak Fatimah tak sadarkan diri, setetes cairan merah menetes dari hidung Fatimah. Akhirnya Fatimah dibawa ke Rumah Sakit. Huru-hara kepanikan berubah menjadi tangis saat Dokter memberitahukan bahwa Fatimah mengidap Leukimia -Kanker darah putih stadium lanjut.
“Jika kurang dari 24 jam Fatimah belum mendapatkan donor sumsum tulang belakang, maka keluarga semuanya harus mengikhlaskan jika nanti terjadi hal buruk pada Fatimah,” Isak tangis bertambah riuh saat Dokter mengutarakan hal itu. Bagaimana tidak, nyawa Fatimah bergantung pada waktu yang kurang dari 24 jam. Beberapa menit kemudian, datang seorang lelaki berpostur tubuh tinggi. Lelaki tersebut melangkah mendekati ruang ICU tempat Fatimah dirawat.
“Sampeyan sopo?” Tanya Nurdin yang saat itu berada di depan ruang ICU tempat Fatimah dirawat.
Langkah lelaki tersebut terhenti, “Apa Fatimah dirawat di sini?” Tanya lelaki itu.
“Iya, tapi Sampeyan sopo?”
“Saya Brandon, teman Fatimah,”
“Sampaikan saja pada Fatimah. Aku ada di sini,” tambah Brandon.
Dengan berat hati, Nurdin menyampaikan hal tersebut pada Fatimah, “Ada temanmu di luar, namanya Brandon,” bisik Nurdin pada Fatimah. Mata Fatimah yang semula hanya terpejam tak berdaya, kini seperti mendapat sambaran energi. “Dia di mana?” Tanya Fatimah lirih.
Kemudian Nurdin mempersilahkan Brandon untuk masuk menemui Fatimah. Keluarga lain yang ada di dalam hanya mematung melihat lelaki asing yang baru pertama kali mereka lihat. Samar-samar Fatimah melihat laki-laki yang berdiri tegak di hadapannya. Fatimah terkejut saat secara jelas ia melihat Brandon dengan penampilan yang sangat berbeda. Dilihatnya Brandon yang mengenakan baju koko putih, dan sebuah peci hitam yang bertengger di kepalanya.
“B-brandon,” Kata Fatimah dengan terbata. Fatimah tidak bisa membendung air matanya. Ia sangat bahagia melihat sosok pria yang dinantikannya, sekarang terlihat jelas di pelupuk matanya. “Fatimah, kamu kenapa? Aku kan sudah bilang, saat aku kembali, aku ingin melihatmu dalam keadaan yang sama seperti pertama kali aku melihatmu,” Tanpa disadari Brandon menitikkan air di pipinya. Brandon tidak bisa menahan kerinduannya terhadap Fatimah. Tangannya langsung merengkuh tubuh Fatimah dan mendekap Fatimah dalam pelukannya. Pelukan itu serasa obat penyembuh bagi Fatimah.
“Brandon lepaskan aku. Bukan muhrim tahu,” Celetuk Fatimah dengan terkekeh kecil.
“Jangan panggil aku Brandon,”
“Lalu?” Fatimah mengernyitkan dahinya sejenak.
“Panggil aku Abdul,” Seketika senyum Fatimah mengembang.
“Sekarang kita sama, nggak ada perbedaan lagi di antara kita,” Tambah Brandon sembari menggenggam erat jemari Fatimah. Senyum Fatimah terus mengembang, ada rasa yang membuncah dari dadanya. Baginya saat ini ia telah menemukan cinta sejati yang selama ini dinantinya.
“Ehem,” Suara itu memecahkan nostalgia Fatimah dan Brandon.
“Pernikahan ini harus dilanjutkan,” Kata Nurdin. Fatimah menatap Nurdin dengan tatapan liar. Benci. Satu kata yang tertaut untuk Nurdin.
“Bukan dengan saya, melainkani dengan Abdul,” Kata Nurdin sembari menatap Abdul (Brandon) dengan mantap.
“Mereka berdua saling mencintai. Mereka pantas mendapatkan ini,” Lanjut Nurdin.
Tatapan sinis Fatimah berubah menjadi tatapan heran dan tak percaya. Lagi-lagi Nurdin mengangguk mantap pada mereka berdua. Pernikahan Fatimah dan Brandon yang kini telah berganti nama menjadi Abdul, berlangsung haru. Ketika kalimat kabul selesai diucapkan Abdul, sebuah sentuhan kecil mendarat di kening Fatimah. “Aku Mencintaimu Karena Allah,” Bisik Abdul lirih di dekat telinga Fatimah. Saat-saat itu Dokter tiba-tiba datang dan menyampaikan bahwa ada seseorang yang DNA sumsum tulangnya sama dengan DNA Fatimah, dan orang tersebut bersedia mendonorkan sunsum tulangnya untuk Fatimah.
Sesekali Fatimah menatap ke arah jendela. Hujan masih menyapa lembut pandangannya. Tatapan Fatimah berpindah pada bayi yang ada di tempat tidur. Bayi itu adalah buah cinta Abdul dan Fatimah. Seorang bayi laki-laki yang diberi nama Furqon. Tatapan Fatimah berpindah lagi pada seorang laki-laki dewasa yang telah berdiri di hadapannya.
“Mas Abdul, mau ke mana?” Tanya Fatimah.
“Mas harus kerja, kalau nggak kerja Mas nggak bisa nafkahin kalian berdua,” jawab Abdul sembari merapikan dasi yang mengikat lehernya. “Mas diterima kerja di perusahaan properti itu? kenapa nggak ngasih tahu aku?”
“Surprise,” jawab Abdul dengan menyunggingkan seulas senyum. Sebuah pelukan kemudian mendarat di dada Abdul.
“Hati-hati ya, kalau sudah sampai kantor jangan lupa telepon Fatimah,” kata Fatimah yang sudah melepaskan pelukannya.
Motor Abdul menderu meninggalkan halaman rumahnya. Jalanan Jogja masih terlihat lengang, motor Abdul melaju dengan kecepatan sedang. Namun tiba-tiba motor Abdul oleng dan ia terjatuh. Ia berusaha berdiri dan menegakkan motornya, namun sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari arah belakang dan menerjang Abdul dan motornya. DAAAARRRRR!!! Abdul terpental jauh, tubuhnya terhempas di aspal dengan keras, darah segar mengalir dari pelipisnya. Hanya Fatimah yang saat itu ada di bayangan Abdul dan setelah itu ia benar-benar kehilangan kesadaran.
TOK TOK TOK
Sebuah ketukan kasar terdengar dari balik pintu. Dengan langkah gusar Fatimah berjalan menuju pintu dan membukanya. Fatimah sedikit terkejut saat mendapati dua polisi yang berdiri di balik pintu. “Ada yang bisa Saya bantu Pak?” tanya Fatimah pada kedua Polisi tersebut.
“Maaf, apa benar ini rumah Bapak Abdul?”
“Benar, Saya istrinya,”
“Begini Ibu, suami Anda mengalami kecelakaan dan sekarang sedang ada di rumah sakit,”
GLAAARRRRR!!! Hati Fatimah seperti dihempaskan saat mendengar berita itu. tanpa pikir panjang Fatimah langsung pergi menuju Rumah Sakit. Langkahnya begitu gusar menyisir lorong-lorong Rumah Sakit mencari ruangan tempat Abdul dirawat. Fatiimah mendapati Ayah dan Ibunya yang tengah menunggu di ruang UGD. “Gimana keadaan Mas Abdul Abi. Dia baik-baik saja kan?” Fatimah mengguncang-guncangkan tubuh Ayahnya. “Tenanglah Nak,”
Tak lama para perawat ke luar dari ruang UGD dengan mendorong sebuah ranjang rawat yang di atasnya terbujur kaku seseorang yang tak asing bagi Fatimah. Pada detik itu juga, dunia Fatimah terasa berhenti. Ia dihempaskan untuk kedua kalinya. Jiwanya terasa ikut pergi bersama jasad Abdul, entah di dunia mana Fatimah berada saat ini. Hatinya kacau. Bagaimana tidak, ia memperjuangkan cintanya yang dibatasi dengan perbedaan besar, namun baru sebentar Fatimah mengenyam kebahagiaan, tiba-tiba takdir datang dengan kenyataan pahit.
“Nak,” Suara itu menyadarkan Fatimah.
“Abi,” Kata Fatimah sembari memeluk erat tubuh Ayahnya.
“Abi menemukan ini di kantong jaket milik Abdul,” Kata Ayah Fatimah sembari melepaskan pelukannya dan mengangsurkan secarik kertas. Tangan Fatimah menggenggam kertas itu, ia tak kuasa membaca kalimat yang ada di dalam surat itu. matanya yang mulai memanas, kembali mengalirkan butir-butir kesedihan dari pelupuk matanya. “Aku tunggu kau di kehidupan yang sesungguhnya Fatimah aku mencintaimu karena Allah. Abdul.”
Lima tahun berlalu..
“Umi,” suara kecil yang begitu lembut memecahkan lamunan Fatimah.
“Furqon,” Kata Fatimah
“Umi lagi ngapain? Furqon boleh tanya sama Umi nggak?” Kata Furqon dengan lidahnya yang masih cadel.
“Tanya apa sayang?”
Furqon terdiam sejenak, mungkin berusaha mencari rangkaian kalimat yang masih terselip di saraf-saraf otaknya. “Abinya Furqon seperti apa Umi? Apa Abi tinggi? Apa Abi ganteng Umi? Atau apa Abi gagah Umi?” Serentetan pertanyaan yang ke luar dari mulut kecil Furqon, begitu menyayat tajam hati Fatimah. Namun dengan puing-puing ketegaran yang dimiliki oleh Fatimah, ia berusaha menjelaskan apa yang ingin diketahui oleh Furqon.
“Sini duduk di samping Umi, Umi akan menjelaskan semua yang ingin Furqon tahu,” Kata Fatimah dengan seulas senyum yang dipaksakan. “Kamu lihat foto ini,” Kata Fatimah sembari menunjukkan sebuah potret foto. “Ini Abi, Abi itu tampan seperti Furqon, Abi itu tinggi seperti Furqon, Abi juga gagah,” Jelas Fatimah.
“Gagahnya tidak seperti Furqon Umi,”
“Kamu kan masih kecil. Kamu belum gagah,” Kata Fatimah yang tak henti-hentinya menyunggingkan seulas senyum.
“Nanti kalau Furqon sudah besar, Furqon pengen jadi anak yang gagah kayak Abi, biar Furqon bisa melindungi Umi,” Kata Furqon sembari merengkuh tubuh Fatimah dengan tangan mungilnya. Fatimah membalas pelukan Furqon dengan hangat.
Inilah hidup Fatimah. Keras, sulit, berat, sangat akrab dengannya. Namun tak ada seuntai kata putus asa di mulutnya. Hidup dijalaninya dengan senyum, kebahagiaan, dan rasa syukur, meski cobaan terus menerjang tanpa henti. Tanpa Abdul, di sini kehidupan barunya dimulai bersama buah hati tercintanya.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar